Back

Metode Scaffolding : Metode Pembentuk Kemandirian Siswa Dalam Pembelajaran Matematika

Forum Akademik – Salah satu jenis metode atau model pembelajaran yang bisa menjadi inspirasi Pejuang Skripsi jurusan Pendidikan dalam menentukan topik penelitian adalah metode scaffolding.

Terdapat beberapa definisi dari scaffolding itu sendiri yang dikemukakan oleh ahli, seperti:

  1. Wood, Buner & Ross (dalam Anghileri, 2006) mengemukakan gagasan tentang scaffolding yaitu bantuan orang dewasa kepada anak-anak secara perlahan-lahan bantuan tersebut akan ditinggalkan ketika anak tersebut mampu menyelesaikan permasalahan sendiri.
  2. Slavin (2012:42), menyatakan bahwa scaffolding berarti menyediakan banyak bantuan kepada anak-anak pada tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi serta menghilangkan dukungan dan memberikan siswa kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab setelah di bisa melakukannya sendiri. Bentuk bantuan dapat berupa intervensi yakni bimbingan, pengarahan, petunjuk, pertanyaan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan masalah, memberi contoh dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa dapat belajar secara mandiri.
  3. Hunter (2012), menyatakan bahwa scaffolding adalah pembelajaran yang terjadi sebagai hasil dari interaksi sosial antara individu dengan pengetahuan lebih dan kurang. Guru yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih akan membangun dinding pengetahuan dan kemampuan yang akan digunakan untuk membantu siswa (melakukan scaffolding) untuk mendapatkan kemampuan matematika yang lebih lanjut/tinggi.

Selain itu, beberapa penelitian telah mengemukakan penggunaan scaffolding yang efektif dalam pembelajarandi kelas, diantaranya:

  1. Amiripour, Modifi & Shahvarani (2012) dalam penelitiannya menyatakan scaffolding yang efektif dalam pembelajaran di kelas antara lain: menggunakan pola, menggunakan umpan balik, mengorganisasi respons siswa, menggunakan instrumen pembelajaran, menempatkan siswa sebagai instruktur, menghilangkan miskonsepsi dan menggunakan masalah nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa dapat melakukan komunikasi sosial dan mereka dapat belajar konsep matematika secara benar melalui aktivitas scaffolding dalam pembelajaran matematika.
  2. Hunter dalam penelitiannya menyarankan perlunya guru matematika untuk memperhatikan tidak hanya pentingnya membangun pengetahuan matematika tetapi juga bagaimana mengkonstruksi pengetahuan itu melalui diskusi atau pembicaraan yang kolaboratif dan diskursif. Scaffolding perlu dipandang sebagai ‘alat dan hasil’ dan guru perlu untuk memperhatikan bagaimana siswanya belajar bukan hanya memperhatikan bagaimana guru akan mengajar
  3. Scaffolding juga dapat diartikan sebagai alat untuk mengatasi dilema bertanya bagi siswa dalam pembelajaran di kelas. Baxter & Williams (2010) dalam penelitiannya mengusulkan scaffolding sosial dan analitik sebagai upaya untuk mengatasi dilema bertanya pada pelajaran matematika di kelas. Scaffolding sosial mengacu pada dukungan yang diberikan guru, dimana dukungan tersebut membantu siswa belajar untuk bekerja sama satu sama lain. Hal ini penting karena scaffolding sosial menyediakan lingkungan belajar dan dengan demikian membantu meletakkan dasar untuk pembangunan pemahaman matematika. Misalnya, dalam mengajar wacana berorientasi, siswa secara rutin menjelaskan pemikiran mereka dan berusaha untuk memahami penjelasan siswa lain.

Scaffolding analitik mengacu pada dukungan yang diberikan kepada siswa berupa materi, guru atau yang lain dalam membangun pemahaman matematika. Scaffolding analitik mungkin termasuk manipulatif fisik, model, metafora, representasi, penjelasan atau pembenaran yang memungkinkan siswa untuk lenih memahami tugas-tugas matematika dan solusinya. Hasil dari penelitian tersebut berupa cara-cara guru dalam melakukan scaffolding analitik dan sosial, dimana dalam pembelajaran tersebut guru dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam bicara tentang matematika dan mengurangi kecenderungan guru saja yang banyak berkata. Cara-cara guru untuk meningkatkan aktivitas bicara siswa melalui scaffolding sosial antara lain: inisiatif huru untuk mengajar atau menjelaskan guna membangun scaffolding sosial, menggunakan pertanyaan untuk mempertahankan atau memperbaiki scaffolding sosial. Cara-cara guru untuk meningkatkan aktivitas bicara siswa melalui scaffolding analitik antara lain menyimpulkan ide matematika, memberikan tugas yang terkait ide matematika, memperkenalkan strategi alternatif dalam mempelajari matematika.

 

Berbagai tindakan scaffolding telah dinyatakan dalam literatur pendidikan. Rogoff (dalam Siemon, dkk, 2004) membagi scaffolding menjadi tiga yaitu apprenticeship, guided participation dan participatory appropriation. Anghileri (2006) mengusulkan tiga hierarki dari penggunaan scaffolding sebagai berikut.

Level 1 : Environmental Provisions (classroom organization, artefacts)

Pada level ini, siswa didukung untuk belajar mandiri. Bantuan guru adalah menyiapkan lingkungan belajar di kelas sebelum bertatap muka dengan siswa seperti pengaturan kelompok, tugas terstruktur seperti lembar kerja siswa. Pengaturan kelompok dapat menciptakan pembelajaran yang berkolaborasi antara teman sebaya. Memodifikasi tugas untuk memasukkan unsur mengoreksi diri sendiri dapat menyediakan umpan balik lebih lanjut yang mendorong belajar otonomi siswa. Environmental provisions juga termasuk artefacts seperti pajangan dinding, alat peraga, teka teki dan peralatan lain yang dapat mendukung pembelajaran.

Level 2 : Explaining, Reviewing and Restructuring

Pada level ini, terdapat interaksi langsung antara guru dan siswa. Interaksi tersebut meliputi explaining, reviewing and restructuring. Explaining merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan ide/konsep yang dipelajari. Pada Tahap ini, interaksi guru dan siswa mendorong pengalaman untuk memfokuskan perhatian siswa pada aspek-aspek yang berhubungan dengan matematika. Reviewing dan Restructuring merupakan cara yang digunakan untuk mengidentifikasi pola-pola interaksi yang lebih responsif antara siswa dan guru. Pada Tahap ini, guru dilibatkan untuk membuat adaptasi modifikasi pengalaman dan membawa matematika terlibat lebih dekat. Tipe-tipe interaksi pada tahap reviewing, yaitu : melihat, menyentuh dan mengatakan apa yang siswa lihat dan pikirkan; menjelaskan dan membenarkan; menafsirkan tindakan dan perkataan siswa; menggunakan pertanyaan pendorong (prompting) dan penggali (probing); pemodelan parallel. Tipe-tipe interaksi pada tahap restructuring yaitu menyediakan konteks bermakna pada situasi abstrak; menyederhanakan masalah dengan mempersempit dan membatasi derajat kebebasan; mengulang kembali perkataan siswa dan menegosiasikan makna.

Level 3 : Developing Conceptual Thinking

Pada level ketiga, strategi menjadi keharusan. Level ini menuntut pembelajaran matematika lebih banyak melibatkan kemampuan untuk mengulang prosedur yang telah dipelajari dan untuk menyelesaikan masalah yang dibatasi. Tingkat tertinggi dari scaffolding ini terdiri dari interaksi pengajaran yang secara eksplisit mengembangkan pemikiran konseptual dengan menciptakan kesempatan untuk mengungkapkan pemahaman pada siswa dan guru bersama-sama. Pada tahap ini, siswa didukung untuk membuat koneksi dan mengembangkan alat-alat representasi. Siswa juga dilibatkan dalam wacana konseptual yang dapat meningkatkan daya pikir mereka.

 

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa proses scaffolding dapat sukses:

  1. proses ini dapat memotivasi siswa untuk melakukan prosedur pemecahan masalah
  2. metode scaffolding dapat memberikan gambaran tentang level siswa saat itu dan hubungan sosialnya
  3. proses scaffolding dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang sulit
  4. metode scaffolding dapat menunjukkan kesalahan dan miskonsepsi siswa dalam menyelesaikan masalah