Back

Hipotesis Ditolak, Apakah Berarti Penelitian Kita Gagal? Berikut Penjelasannya

FORUMAKADEMIK – Tentunya sudah banyak yang tidak asing kan dengan istilah hipotesis penelitian? 

Khususnya bagi temans mahasiswa yang melakukan penelitian dengan metode kuantitatif. 

Pada dasarnya, hipotesis adalah dugaan sementara atau suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.

Jawaban terhadap permasalahan ini dibedakan atas 2 hal sesuai dengan taraf pencapaiannya yaitu:

  1. Jawaban permasalahan yang berupa kebenaran pada taraf teoretik, dicapai melalui membaca.
  2. Jawaban permasalahan yang berupa kebenaran pada taraf praktik, dicapai setelah penelitian selesai, yaitu setelah pengolahan data.

Apabila peneliti telah mendalami permasalahan penelitiannya dengan seksama dan menetapkan anggapan dasar, lalu membuat suatu teori sementara, yang kebenarannya masih perlu diuji (di bawah kebenaran), inilah konteks sebutan hipotesis itu berasal. 

Selanjutnya peneliti akan bekerja berdasarkan hipotesis. Peneliti mengumpulkan data-data yang paling berguna untuk membuktikan hipotesis. 

Berdasarkan data yang terkumpul, peneliti akan menguji apakah hipotesis yang dirumuskan dapat naik status menjadi tesa, atau sebaliknya, tumbang sebagai hipotesis, apabila ternyata tidak terbukti.

Terhadap hipotesis yang sudah dirumuskan, peneliti dapat bersikap dua hal:

  1. Menerima keputusan seperti apa adanya seandainya hipotesisnya tidak terbukti (pada akhir penelitian).
  2. Mengganti hipotesis seandainya melihat tanda-tanda bahwa data yang terkumpul tidak mendukung terbuktinya hipotesis (pada saat penelitian berlangsung).

Namun pada praktiknya, opsi kedua agaknya bukan menjadi opsi yang “dibenarkan”. Sebab terdapat fakta dan tindakan etis lain dalam penelitian yang harus dijunjung tinggi. 

Hal ini karena seorang peneliti harus memiliki sifat ilmiah seperti jujur dan objektif terhadap hasil penelitian yang dilakukan.

Lantas, jika hipotesis kita tertolak, apakah berarti penelitian kita gagal? 

Pasti hal ini yang sering menjadi sumber pikiran dan beban para peneliti seperti Temans mahasiswa.

Lantas, apakah hal tersebut benar? Jawabannya tentu TIDAK. Benar dan tidaknya hipotesis tidak ada hubungannya dengan terbukti dan tidaknya hipotesis tersebut. 

Seorang peneliti mungkin merumuskan hipotesis yang isinya benar, tetapi setelah data terkumpul dan dianalisis ternyata hipotesis tersebut ditolak, atau tidak terbukti. 

Sebaliknya mungkin seorang peneliti merumuskan sebuah hipotesis yang salah, tetapi setelah dicocokkan dengan data, hipotesis yang salah tersebut terbukti. 

Dalam hal lain dapat terjadi perumusan hipotesisnya benar tetapi ada kesalahan dalam penarikan kesimpulan. 

Kesalahan penarikan kesimpulan tersebut bisa jadi disebabkan karena kesalahan sampel, kesalahan perhitungan pada variabel lain yang mengubah hubungan antara variabel X dan variabel Y yang pada saat pengujian hipotesis ikut berperan.

Oleh karena itu yang sebaiknya perlu Temans perhatikan adalah terkait cara membuat hipotesis yang benar dan meminimalisir kekeliruan dalam membuat hipotesis

Borg dan Gall (1979: 61) mengajukan persyaratan untuk hipotesis sebagai berikut:

  1.   Hipotesis harus dirumuskan dengan singkat tetapi jelas.
  2.   Hipotesis harus dengan nyata menunjukkan adanya hubungan antara dua atau lebih variabel.
  3.   Hipotesis harus didukung oleh teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli atau hasil penelitian yang relevan.

Selanjutnya, macam kekeliruan ketika membuat kesimpulan tentang hipotesis:

Selanjutnya ditentukan bahwa probabilitas melakukan kekeliruan macam I dinyatakan dengan ɑ (alpha), sedangkan melakukan kekeliruan macam II dinyatakan dengan β (beta). 

Nama-nama ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis kesalahan. Kesalahan tipe I ini disebut taraf signifikansi pengetesan. Artinya kesediaan yang berwujud besarnya probabilitas jika hasil penelitian terhadap sampel akan diterapkan pada populasi. 

Besarnya taraf signifikansi ini pada umumnya sudah diterapkan terlebih dahulu. 

Untuk penelitian-penelitian di bidang ilmu pendidikan, sosial pada umumnya digunakan taraf signifikansi 0,05 atau 0,01. 

Sedangkan untuk peneliti obat-obatan atau penelitian exacta yang resikonya menyangkut jiwa manusia, diambil 0,005 atau 0,001, bahkan mungkin 0,0001.

So, gimana- gimana? Masih takut kalau hipotesis kalian ditolak? 

Rileks ya Temans semua opsi bisa terjadi saat Temans belajar melalukan penelitian ilmiah (Menyusun skripsi salah satunya). 

Dalam proses tersebut, wajar jika proses dan hasilnya tidak sempurna. Yang terpenting adalah Temans semua sudah meminimalisir sedemikian rupa risiko terjadinya kesalahan dalam prosedur pemilihan. Tidak terkecuali dalam meng-konstruk hipotesisnya. 

Jika hasilnya memang tidak sesuai dengan apa yang Temans “duga” atau “prediksi” melalui hipotesis penelitian yang telah dibuat, ya let it be!

Ingat kembali konteks melakukan penelitian, khususnya penelitian dengan metode kuantitatif adalah untuk menguji teori dan menguji keterkaitan antar variabel. 

Dengan demikian jelas bahwa tujuan meneliti adalah untuk mencari tahu kebenarannya.

Dengan demikian sangat wajar jika hasil penelitian harus terbuka terhadap kritik meskipun hasil penelitian satu sama lain bertentangan.

Cara berfikir ilmiah seorang peneliti itu adalah ragu-ragu (skeptical), lalu membuktikan. Artinya, Temans harus ragu terlebih dahulu dari teori yang telah ada, lalu membuktikannya terhadap kondisi nyata saat ini.

Logika sederhananya, kalau Anda udah yakin bahwa hubungan Variabel X dan variabel Y tersebut sudah pasti signifikan, buat apa diteliti lagi ?

Dari sini jelas kan? Kalau hipotesis itu tidak melulu harus diterima… bahwa hasil penelitian itu tidak selalu harus signifikan!

 

baca juga : Cara Merumuskan Hipotesis

 

Leave A Reply